Rabu, 26 Juni 2013

Articel "Ngotot Merokok Bisa Terkait Saraf"

Ngotot Merokok Bisa Terkait Saraf
Badrul Munir ; Dokter Ahli Saraf,
Bekerja di bagian Ilmu Penyakit Saraf RSU Saiful Anwar Malang
JAWA POS, 10 Agustus 2012


BUTA bisa diartikan ketidakmampuan seseorang untuk melihat benda di sekitarnya. Tapi, buta hati lebih memilukan. Seseorang bisa melihat benda di sekitarnya dengan jelas tapi -bila hatinya buta- tidak bisa membedakan antara baik dan buruk, kebenaran dan kesalahan, bahkan sehat dan sakit.
Walau diberi data-data yang otentik tentang suatu kebenaran dan telah menjadi kesepakatan bersama tentang kebenaran tersebut, seseorang yang buta hati tidak akan mau menerima. Beragam dalih akan dikemukakan untuk menolaknya.
Merokok sudah jelas menyengsarakan masyarakat, terutama masyarakat miskin (merusak kesehatan, mengganggu ekonomi keluarga, dan aneka sengsara lain). Tapi, toh mereka masih tetap merokok juga. Bahkan sangat lantang menentang bila ada sekelompok masyarakat dan pemerintah yang berusaha mengatur tata kelola rokok (misalnya, lewat PP tembakau).
Menurut ilmu neurobehavior, tindakan manusia sangat ditentukan sekelompok sel otak (neuron) yang mengatur cara berpikir dan bertindak. Kerja otak yang mengagumkan tersebut dimulai dari proses menyimpan semua informasi yang masuk melalui pancaindra di dalam sistem memori. Informasi itu diolah dan dianalisis miliaran sel otak yang saling berhubungan dengan sigapnya, kemudian keluar hasil yang berupa pikiran, ucapan, serta perbuatan.
Lewat proses itu, tindakan manusia sangat ditentukan oleh informasi yang masuk ke otaknya. Bila informasi tersebut melekat kuat dalam pikiran bawah sadar, terutama di hipokampus, lobus temporalis, dan amigdala, dia akan kuat memerankan semua tindakannya. (Ketiganya termasuk sistem limbik, yakni satu set struktur otak yang mendukung berbagai fungsi, termasuk emosi, perilaku, memori jangka panjang, dan penciuman, Red).
Setiap perilaku manusia tidak hanya dihasilkan oleh proses kognitif, tapi juga melibatkan peran emosi. Karena itu, walaupun hasil proses kognisi sudah dianggap ''benar'', namun karena melibatkan emosi (nafsu), kebenaran akan ditolak sehingga menimbulkan perilaku yang tidak benar.

Intelektual pun Terpapar
Rokok yang mengandung nikotin (di antara 4.000 zat kimia berbahaya lainnya) akan memengaruhi neuron otak secara perlahan tapi terus-menerus. Hal itu disebabkan adanya proses paparan nikotin dalam neuron. Dari beberapa penelitian didapatkan, di dalam neuron perokok akan terbentuk reseptor nikotin.
Itu terutama terdapat di tegmentum yang disebarkan ke nucleus accumbant (bagian otak yang memberikan rasa kenikmatan karena zat adiktif). Semakin lama merokok, semakin banyak reseptor yang terbentuk. Bila masuk ke dalam otak, nikotin akan ditangkap reseptor nikotin dan bisa bertahan dalam waktu lama.
Efek proses itu adalah timbulnya eskalasi listrik di sel otak dengan meningkatkan neurotransmiter dopamin, sehingga akan memberikan sensasi nikmat, percaya diri, dan rasa tenang. Namun, bila tidak merokok dalam jangka panjang seperti saat tidur atau puasa, akan timbul perasaan agitasi dan perasaan tidak enak. Hal itu terjadi karena reseptor nikotin tersebut ''kehilangan'' kebutuhannya. Itulah yang menerangkan alasan para perokok sulit berhenti mengisap rokok dan selalu melawan kampanye yang berusaha menghentikan kebiasaan merokok mereka.
Proses tersebut berbeda dari makan. Saat lapar karena zat glukosa darah menurun, otak (hipotalamus) akan memerintah sel otak lainnya untuk bereaksi agar segera memenuhi nutrisinya secara otomatis. Setelah rasa kenyang muncul, otak segera memerintah tubuh untuk menghentikannya. Proses itu tidak melibatkan reseptor adiktif di neuron. Tidak mengherankan bila para perokok lebih tersiksa menahan tidak merokok dibanding menahan lapar.
Dari analisis tersebut, dapat dipahami mengapa para perokok berusaha sekuat tenaga untuk melawan usaha mengatur (menghentikan) aktivitas itu. Walapun perokok tersebut seorang intelektual, dia akan tetap mempunyai sikap yang sama. Bisa diperkirakan, hal itu disebabkan adanya perubahan di neuron tersebut. Tidak mengherankan, intelektual perokok berusaha menggunakan keilmuannya untuk mendapatkan zat nikotin di sel otaknya. Salah satunya dengan cara memberikan pengaruh lewat tulisan atau pendapatnya.
Kacamata Kuda
Kacamata kuda dapat diartikan melihat sesuatu hanya dari satu sisi dan mengabaikan sisi lain. Seseorang yang terlalu sering menggunakan kacamata kuda dalam kehidupannya lama-kelamaan terkena penyakit kelainan jiwa yang disebut preokupasi.
Kita harus menyadari realitas 34 juta penduduk Indonesia yang bergantung pada industri tembakau. Mereka punya anak dan keluarga yang menjadi tanggungan. Sementara itu, lapangan pekerjaan lainnya tiada terbuka walau angka penganggur Indonesia diklaim menurun. Menghentikan industri tembakau dengan alasan kesehatan memang baik, namun harus diakui akan berdampak ekonomi dan sosial yang sangat besar.

Sumber

0 komentar:

Posting Komentar