Ngotot Merokok Bisa Terkait Saraf
Badrul Munir ;
Dokter Ahli Saraf,
Bekerja
di bagian Ilmu Penyakit Saraf RSU Saiful Anwar Malang
JAWA
POS, 10 Agustus 2012
BUTA
bisa diartikan ketidakmampuan seseorang untuk melihat benda di sekitarnya.
Tapi, buta hati lebih memilukan. Seseorang bisa melihat benda di sekitarnya
dengan jelas tapi -bila hatinya buta- tidak bisa membedakan antara baik dan
buruk, kebenaran dan kesalahan, bahkan sehat dan sakit.
Walau diberi data-data yang otentik tentang suatu kebenaran
dan telah menjadi kesepakatan bersama tentang kebenaran tersebut, seseorang
yang buta hati tidak akan mau menerima. Beragam dalih akan dikemukakan untuk
menolaknya.
Merokok sudah jelas menyengsarakan masyarakat, terutama
masyarakat miskin (merusak kesehatan, mengganggu ekonomi keluarga, dan aneka
sengsara lain). Tapi, toh mereka masih tetap merokok juga. Bahkan sangat
lantang menentang bila ada sekelompok masyarakat dan pemerintah yang berusaha
mengatur tata kelola rokok (misalnya, lewat PP tembakau).
Menurut ilmu neurobehavior, tindakan manusia sangat
ditentukan sekelompok sel otak (neuron) yang mengatur cara berpikir dan
bertindak. Kerja otak yang mengagumkan tersebut dimulai dari proses menyimpan
semua informasi yang masuk melalui pancaindra di dalam sistem memori. Informasi
itu diolah dan dianalisis miliaran sel otak yang saling berhubungan dengan
sigapnya, kemudian keluar hasil yang berupa pikiran, ucapan, serta perbuatan.
Lewat proses itu, tindakan manusia sangat ditentukan oleh
informasi yang masuk ke otaknya. Bila informasi tersebut melekat kuat dalam
pikiran bawah sadar, terutama di hipokampus, lobus temporalis, dan amigdala,
dia akan kuat memerankan semua tindakannya. (Ketiganya termasuk sistem limbik,
yakni satu set struktur otak yang mendukung berbagai fungsi, termasuk emosi,
perilaku, memori jangka panjang, dan penciuman, Red).
Setiap perilaku manusia tidak hanya dihasilkan oleh proses
kognitif, tapi juga melibatkan peran emosi. Karena itu, walaupun hasil proses
kognisi sudah dianggap ''benar'', namun karena melibatkan emosi (nafsu),
kebenaran akan ditolak sehingga menimbulkan perilaku yang tidak benar.
Intelektual
pun Terpapar
Rokok yang mengandung nikotin (di antara 4.000 zat kimia
berbahaya lainnya) akan memengaruhi neuron otak secara perlahan tapi
terus-menerus. Hal itu disebabkan adanya proses paparan nikotin dalam neuron.
Dari beberapa penelitian didapatkan, di dalam neuron perokok akan terbentuk
reseptor nikotin.
Itu terutama terdapat di tegmentum yang disebarkan ke
nucleus accumbant (bagian otak yang memberikan rasa kenikmatan karena
zat adiktif). Semakin lama merokok, semakin banyak reseptor yang terbentuk.
Bila masuk ke dalam otak, nikotin akan ditangkap reseptor nikotin dan bisa
bertahan dalam waktu lama.
Efek proses itu adalah timbulnya eskalasi listrik di sel
otak dengan meningkatkan neurotransmiter dopamin, sehingga akan
memberikan sensasi nikmat, percaya diri, dan rasa tenang. Namun, bila tidak
merokok dalam jangka panjang seperti saat tidur atau puasa, akan timbul
perasaan agitasi dan perasaan tidak enak. Hal itu terjadi karena reseptor
nikotin tersebut ''kehilangan'' kebutuhannya. Itulah yang menerangkan alasan
para perokok sulit berhenti mengisap rokok dan selalu melawan kampanye yang
berusaha menghentikan kebiasaan merokok mereka.
Proses tersebut berbeda dari makan. Saat lapar karena zat
glukosa darah menurun, otak (hipotalamus) akan memerintah sel otak lainnya
untuk bereaksi agar segera memenuhi nutrisinya secara otomatis. Setelah rasa
kenyang muncul, otak segera memerintah tubuh untuk menghentikannya. Proses itu
tidak melibatkan reseptor adiktif di neuron. Tidak mengherankan bila para
perokok lebih tersiksa menahan tidak merokok dibanding menahan lapar.
Dari analisis tersebut, dapat dipahami mengapa para perokok
berusaha sekuat tenaga untuk melawan usaha mengatur (menghentikan) aktivitas
itu. Walapun perokok tersebut seorang intelektual, dia akan tetap mempunyai
sikap yang sama. Bisa diperkirakan, hal itu disebabkan adanya perubahan di
neuron tersebut. Tidak mengherankan, intelektual perokok berusaha menggunakan
keilmuannya untuk mendapatkan zat nikotin di sel otaknya. Salah satunya dengan
cara memberikan pengaruh lewat tulisan atau pendapatnya.
Kacamata
Kuda
Kacamata kuda dapat diartikan melihat sesuatu hanya dari
satu sisi dan mengabaikan sisi lain. Seseorang yang terlalu sering menggunakan
kacamata kuda dalam kehidupannya lama-kelamaan terkena penyakit kelainan jiwa
yang disebut preokupasi.
Kita harus menyadari realitas 34 juta penduduk Indonesia
yang bergantung pada industri tembakau. Mereka punya anak dan keluarga yang
menjadi tanggungan. Sementara itu, lapangan pekerjaan lainnya tiada terbuka walau
angka penganggur Indonesia diklaim menurun. Menghentikan industri tembakau
dengan alasan kesehatan memang baik, namun harus diakui akan berdampak ekonomi
dan sosial yang sangat besar.
Sumber
http://budisansblog.blogspot.com/2012/08/ngotot-merokok-bisa-terkait-saraf.html
Di akses pada tanggal 26-06-2013
0 komentar:
Posting Komentar